![]() |
Azhari, MS. S.Pd. alumni PBSI Unsyiah |
Rantau
Karya Azhari MS
DUA TAHUN sudah aku merantau. Mencoba mencari pekerjaan yang tepat untuk melamar si Minah, tunanganku. Aku sudah berjanji akan segera menikahinya begitu aku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap. Salahnya, aku juga telah berjanji kepada ibunya tentang hal ini. Mereka pasti sedang menunggu kapan kepastian itu terwujud. Atau malah akan segera menagih jika tahun ini aku tetap belum melamar si Minah.
Terus terang, aku sangat merindukan Minah. Dia tidaklah cantik. Wajahnya biasa-biasanya saja. Kukunya menguning karena tiap dua kali dalam setahun, setiap hari pada fase tertentu, dia harus membantu ibunya di sawah. Dia juga rajin membuat kue yang dititipnya di kantin sekolah. Aku mencintainya karena kemandiriannya. Sayang, kerinduanku tetap harus kutahan sejenak. Aku tak berani menjumpainya. Aku belum memiliki uang untuk menikahinya. Walapun dia pernah berkata tak akan menuntut mahar yang banyak. Bahkan dia pernah berkata kalau aku tidak perlu memikirkan sebuah pesta pernikahan. Hal ini jsemakin membuat nyaliku ciut untuk bertemu dengannya.
Tak perlu kuceritakan pengalamanku mencari pekerjaan di tahun pertama. Semuanya tak bertahan lama. Mulai dari buruh bangunan hingga petugas kebersihan kota. Ketika kuputuskan untuk kembali ke kampung halaman, aku semakin malu oleh keadaan. Tak ada yang dapat kubawa pulang dari rantau, bahkan sehelai kain baju untuk Emak pun tak ada. Memang beliau tidak meminta, tapi bukankah hal ini akan membanggakan di hadapan kelompok pengajiannya? Atau ketika Emak sedang menghadiri sebuah pesta. Aku semakin tak betah berlama-lama di sini.
Lima bulan terlunta-lunta, kuputuskan kembali merantau. Kali ini Pulau Jawa yang menjadi tujuanku. Kudengar banyak kawan-kawanku yang bertahan di sana. Dan tidak sedikit yang teah sukses dengan usahanya. Kabar ini kudapat dari obrolanku di warung kopi Mansyah. Aku tidak bermimpi yang muluk. Aku hanya berharapdapat segera mempersunting si Minah.
***
Tiba di pulau penuh sesak pendatang ini, aku singgah di tempat Marah. Aku sudah menghubunginya jauh hari sebelum aku berangkat. Nomor telepon dan alamatnya kudapat dari Mansyah. Sekarang dia bekerja di salah satu pabrik rumahan. Aku tidak bertanya banyak hal tentang pekerjaannya. Yang ingin aku apakah dia bersedia memberiku tempat tinggal sementara?Itu saja!
Marah masih seperti Marah yang kukenal sejak SD. Badannya tetap saja kurus dan rambut keritingnya tidak berhasil diluruskan.Yang berubah hanya kumisnya. Semakin aneh kumis itu,tumbuh lebat di kiri kanan saja. Kulitnya tetap hitam dan kuku kakinya tetap berbau busuk. Kegemarannya adalah mencari ikan di sawah Pak Mansyah setelah beliau memanen padinya. Di sudut sawah dekat irigasi, Pak Mansyah menggali sebuah kolam. Masa setelah panen adalah masa yang tepat untuk mencari ikan di sana dan Marah tak pernah lupa mencuri start ketika orang-orang sedang dibuai oleh mimpinya.
“Kau jangan sungkan. Kamarku memang kecil. Maklum saja, ini pemberian dari bosku,” katanya ketika aku tiba di kontrakannya. Marah menjemput aku di terminal bus Lebak Bulus. Sebelumnya dia sudah mengarahkanku agar naik angkutan umum saja hingga tiba di depan kontrakannya. Aku hanya menjawab, “Banyak pencopet, aku tak berani!”.
“Kau akan bekerja apa di sini? Bagaimana dengan tawaranku kemarin? Kau kerja saja bersamaku di sini!”
“Ah, kau macam tak tahu aku saja. Kapan kau pernah melihatku bekerja membuat bakso?”
“Memang tidak tapi patut dicoba, bukan? Sudah bisa kau tinggalkan tabiat gengsi daerah kita itu. Tak berlaku di sini!”
Aku hanya tersenyum. Kurasa dulu dia yang pernah bersumpah tak akan pernah bekerja sebagai pembuat atau pedagang keliling. Apalagi menjual bakso. Seorang tukang bakso langganan kami selalu menjadi sasaran ledekan ketika kami masih berada di bangku SMA.
“Aku punya kenalan. Dia orang dari daerah kita juga. Kudengar bengkel motornya sedang maju. Kau masih suka mesin bukan?”
“Hahaha, kau menghinaku? Kau tak ingat motor dinas Pak Kades yang kita reparasi dulu? Awalnya hidup. Tapi setelah kuperbaiki, tak mau hidup sama sekali.”
“Sudahlah, itu masalalu. Anggap saja pelatihan gratis. Besok setelah dinas pagi, kuantar kau ke sana!”
Aku mencoba memejamkan mataku. Panas menghantui kami sejak sore tadi. Kamar ini sungguh kecil. Jendelanya model klasik, tak dapat dibuka terlalu lebar karena akan mengganggu pengguna jalan. Kipas angin kecil berputar di langit kamar. Kurasa berputar atau tidaknya kipas itu tak kan memengaruhi suhu kamar ini. Marah sudah menyanyi dari tadi. Nyanyiannya semakin larut semakin nyaring. Beberapa kali kucoba menutup mulutnya dengan bantal. Apa lagi setelah kudengar tetangga sebelah yang mengodekan pukulan ke dinding kamar karena terganggu oleh nyanyian Marah. Jangankan berhenti, kurasa peduli pun dia tidak!
***
Entah kapan Marah bangun pagi ini. Ketika kubuka mataku dia sudah tidak ada. Bantal yang kugunakan untuk menutup mulutnya semalam sudah tertata rapi di sampingku. Aroma telur dadar membangunkanku. Marah sudah memasak sebelum berangkat tadi pagi.
Sarapanku harus ditutup oleh segela kopi. Aku tahu marah masih tetap tidak menyukai minuman ini. Hanya ada bungkusan teh di kontrakannya. Kuputuskan untuk keluar kamar mencari kopi. Siapa tahu di ujung persimpangan gang sana terdapat sebuah warung kopi.
Benar saja. Walau sedikitpun tak mirip warung kopi di daerahku, warung kopi bergerobak ini kurasa cukup untuk meredakan kecanduanku akan kopi. Aku langsung duduk di bangku panjang yang berada di depan gerobak. Di sisi kananku, seorang pria berkemeja rapi asyik membaca koran. Halaman depannya tentang pelecehan siswa taman kanak-kanak oleh seorang penjaga sekolah. Si penjual memecahkan keseriusanku melirik berita koran itu.
“Kopi apa, Mas?”, tanya pria yang terlihat samar dari balik kepulan asap air panas.
“Oh, kopi hitam saja!”, jawabku segera memalingkan wajahku. Aku tak mau si pemilik koran itu mengetahui aku sedang mengintip bacaannya.
“Ini, Mas!”
Segelas kopi disodorkan di depanku. Aku tersentak. Bukan perkara pesanannya yang salah, melainkan suara perempuan yang begitu akrab di telingaku. Suara perempuan kampung yang selalu membuatku terdiam ketika dia marah. Suara yang selalu membuatku kehabisan kata-kata ketika harus berbohong kepadanya. Suara yang membuatku rela hidup pahit di kampung orang. Suara yang fotonya ada di dalam dompetku. Suara yang pemiliknya tak pernah berani kujumpai hampir dua tahun ini.
“Minah? Kau...”
“Bang...”
Entah apa yang harus kulakukan saat itu. Tanpa sadar aku hanya beranjak dari sana. Aku menyenggol si pria berkemeja rapi hingga hampir jatuh dari tempat duduknya. Aku tidak meminta maaf. Aku bahkan lupa membayar kopi yang sudah kupesan. Si lugu, Minah-ku, sedang hamil. Aku mempercepat langkahku. Semakin cepat hingga aku hampir berlari. (Serambi Indonesia)
* Azhari MS, alumnus Gemasastrin Unsyiah. Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Surabaya
Karya Azhari MS
DUA TAHUN sudah aku merantau. Mencoba mencari pekerjaan yang tepat untuk melamar si Minah, tunanganku. Aku sudah berjanji akan segera menikahinya begitu aku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap. Salahnya, aku juga telah berjanji kepada ibunya tentang hal ini. Mereka pasti sedang menunggu kapan kepastian itu terwujud. Atau malah akan segera menagih jika tahun ini aku tetap belum melamar si Minah.
Terus terang, aku sangat merindukan Minah. Dia tidaklah cantik. Wajahnya biasa-biasanya saja. Kukunya menguning karena tiap dua kali dalam setahun, setiap hari pada fase tertentu, dia harus membantu ibunya di sawah. Dia juga rajin membuat kue yang dititipnya di kantin sekolah. Aku mencintainya karena kemandiriannya. Sayang, kerinduanku tetap harus kutahan sejenak. Aku tak berani menjumpainya. Aku belum memiliki uang untuk menikahinya. Walapun dia pernah berkata tak akan menuntut mahar yang banyak. Bahkan dia pernah berkata kalau aku tidak perlu memikirkan sebuah pesta pernikahan. Hal ini jsemakin membuat nyaliku ciut untuk bertemu dengannya.
Tak perlu kuceritakan pengalamanku mencari pekerjaan di tahun pertama. Semuanya tak bertahan lama. Mulai dari buruh bangunan hingga petugas kebersihan kota. Ketika kuputuskan untuk kembali ke kampung halaman, aku semakin malu oleh keadaan. Tak ada yang dapat kubawa pulang dari rantau, bahkan sehelai kain baju untuk Emak pun tak ada. Memang beliau tidak meminta, tapi bukankah hal ini akan membanggakan di hadapan kelompok pengajiannya? Atau ketika Emak sedang menghadiri sebuah pesta. Aku semakin tak betah berlama-lama di sini.
Lima bulan terlunta-lunta, kuputuskan kembali merantau. Kali ini Pulau Jawa yang menjadi tujuanku. Kudengar banyak kawan-kawanku yang bertahan di sana. Dan tidak sedikit yang teah sukses dengan usahanya. Kabar ini kudapat dari obrolanku di warung kopi Mansyah. Aku tidak bermimpi yang muluk. Aku hanya berharapdapat segera mempersunting si Minah.
***
Tiba di pulau penuh sesak pendatang ini, aku singgah di tempat Marah. Aku sudah menghubunginya jauh hari sebelum aku berangkat. Nomor telepon dan alamatnya kudapat dari Mansyah. Sekarang dia bekerja di salah satu pabrik rumahan. Aku tidak bertanya banyak hal tentang pekerjaannya. Yang ingin aku apakah dia bersedia memberiku tempat tinggal sementara?Itu saja!
Marah masih seperti Marah yang kukenal sejak SD. Badannya tetap saja kurus dan rambut keritingnya tidak berhasil diluruskan.Yang berubah hanya kumisnya. Semakin aneh kumis itu,tumbuh lebat di kiri kanan saja. Kulitnya tetap hitam dan kuku kakinya tetap berbau busuk. Kegemarannya adalah mencari ikan di sawah Pak Mansyah setelah beliau memanen padinya. Di sudut sawah dekat irigasi, Pak Mansyah menggali sebuah kolam. Masa setelah panen adalah masa yang tepat untuk mencari ikan di sana dan Marah tak pernah lupa mencuri start ketika orang-orang sedang dibuai oleh mimpinya.
“Kau jangan sungkan. Kamarku memang kecil. Maklum saja, ini pemberian dari bosku,” katanya ketika aku tiba di kontrakannya. Marah menjemput aku di terminal bus Lebak Bulus. Sebelumnya dia sudah mengarahkanku agar naik angkutan umum saja hingga tiba di depan kontrakannya. Aku hanya menjawab, “Banyak pencopet, aku tak berani!”.
“Kau akan bekerja apa di sini? Bagaimana dengan tawaranku kemarin? Kau kerja saja bersamaku di sini!”
“Ah, kau macam tak tahu aku saja. Kapan kau pernah melihatku bekerja membuat bakso?”
“Memang tidak tapi patut dicoba, bukan? Sudah bisa kau tinggalkan tabiat gengsi daerah kita itu. Tak berlaku di sini!”
Aku hanya tersenyum. Kurasa dulu dia yang pernah bersumpah tak akan pernah bekerja sebagai pembuat atau pedagang keliling. Apalagi menjual bakso. Seorang tukang bakso langganan kami selalu menjadi sasaran ledekan ketika kami masih berada di bangku SMA.
“Aku punya kenalan. Dia orang dari daerah kita juga. Kudengar bengkel motornya sedang maju. Kau masih suka mesin bukan?”
“Hahaha, kau menghinaku? Kau tak ingat motor dinas Pak Kades yang kita reparasi dulu? Awalnya hidup. Tapi setelah kuperbaiki, tak mau hidup sama sekali.”
“Sudahlah, itu masalalu. Anggap saja pelatihan gratis. Besok setelah dinas pagi, kuantar kau ke sana!”
Aku mencoba memejamkan mataku. Panas menghantui kami sejak sore tadi. Kamar ini sungguh kecil. Jendelanya model klasik, tak dapat dibuka terlalu lebar karena akan mengganggu pengguna jalan. Kipas angin kecil berputar di langit kamar. Kurasa berputar atau tidaknya kipas itu tak kan memengaruhi suhu kamar ini. Marah sudah menyanyi dari tadi. Nyanyiannya semakin larut semakin nyaring. Beberapa kali kucoba menutup mulutnya dengan bantal. Apa lagi setelah kudengar tetangga sebelah yang mengodekan pukulan ke dinding kamar karena terganggu oleh nyanyian Marah. Jangankan berhenti, kurasa peduli pun dia tidak!
***
Entah kapan Marah bangun pagi ini. Ketika kubuka mataku dia sudah tidak ada. Bantal yang kugunakan untuk menutup mulutnya semalam sudah tertata rapi di sampingku. Aroma telur dadar membangunkanku. Marah sudah memasak sebelum berangkat tadi pagi.
Sarapanku harus ditutup oleh segela kopi. Aku tahu marah masih tetap tidak menyukai minuman ini. Hanya ada bungkusan teh di kontrakannya. Kuputuskan untuk keluar kamar mencari kopi. Siapa tahu di ujung persimpangan gang sana terdapat sebuah warung kopi.
Benar saja. Walau sedikitpun tak mirip warung kopi di daerahku, warung kopi bergerobak ini kurasa cukup untuk meredakan kecanduanku akan kopi. Aku langsung duduk di bangku panjang yang berada di depan gerobak. Di sisi kananku, seorang pria berkemeja rapi asyik membaca koran. Halaman depannya tentang pelecehan siswa taman kanak-kanak oleh seorang penjaga sekolah. Si penjual memecahkan keseriusanku melirik berita koran itu.
“Kopi apa, Mas?”, tanya pria yang terlihat samar dari balik kepulan asap air panas.
“Oh, kopi hitam saja!”, jawabku segera memalingkan wajahku. Aku tak mau si pemilik koran itu mengetahui aku sedang mengintip bacaannya.
“Ini, Mas!”
Segelas kopi disodorkan di depanku. Aku tersentak. Bukan perkara pesanannya yang salah, melainkan suara perempuan yang begitu akrab di telingaku. Suara perempuan kampung yang selalu membuatku terdiam ketika dia marah. Suara yang selalu membuatku kehabisan kata-kata ketika harus berbohong kepadanya. Suara yang membuatku rela hidup pahit di kampung orang. Suara yang fotonya ada di dalam dompetku. Suara yang pemiliknya tak pernah berani kujumpai hampir dua tahun ini.
“Minah? Kau...”
“Bang...”
Entah apa yang harus kulakukan saat itu. Tanpa sadar aku hanya beranjak dari sana. Aku menyenggol si pria berkemeja rapi hingga hampir jatuh dari tempat duduknya. Aku tidak meminta maaf. Aku bahkan lupa membayar kopi yang sudah kupesan. Si lugu, Minah-ku, sedang hamil. Aku mempercepat langkahku. Semakin cepat hingga aku hampir berlari. (Serambi Indonesia)
* Azhari MS, alumnus Gemasastrin Unsyiah. Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Surabaya
Posting Komentar