
Oleh Rahmad Nuthihar, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah
Tentu kita masih ingat di masa presiden Soeharto pada saat ia berpidato menggunakan akhiran -ken dalam pidatonya. Karena dalam bahasa Indonesia tidak mengenal sufik -ken, guru besar Universitas Padjadjaran Bandung ini memprotes keras artikulasi pemimpin orde baru itu di dalam Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI Pusat Jakarta (1977-1979).
Akibatnya, Prof. J. S. Badudu tersebut disingkirkan sebagai pembawa acara karena dianggap telah mendiskreditkan pemimpin negara. Merujuk dari protes tersebut, Soeharto segera mengintruksikan kepada bawahannya agar setiap ada acara resmi yang terbuka bagi publik, baik itu acara formal pemerintah maupun ceramah-ceramah di mesjid wajib melampirkan naskah seminggu sebelum acara itu guna ditinjau terlebih dahulu oleh tim khusus penelaah.
Dampaknya pun terlihat begitu bagus, mulai dari materi atau isi pidato yang bermanfaat hingga keteraturan pemakaian bahasa itu sendiri. Pada kehidupan nyata saat ini, ingatan kita tidak pernah terlepas ketika kasus yang sangat miris, khatib khutbah di Sigli dipukuli oleh jamaah karena dianggap konten khutbah tersebut sarat dengan unsur politik dan tidak sesuai dengan perannya sebagai khatib pada salat Jumat.
Maka terlihat jelas bahwa relevansi hubungan bahasa dan kekuasaan ini sendiri sangat kuat dan menimbulkan pengaruh yang begitu besar. Misalnya Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah saat yang bersamaan dia tidak bisa menghadiri di dalam pertemuan tertentu maka, dia mewakilkan sesorang untuk menyampaikan pidatonya dan hal ini tetap dianggap penyambung lidah dari gubernur Aceh itu.
Menyikapi hal yang terjadi saat ini telah banyak kemunduran penggunaan bahasa baku. Padahal, pemakaian bahasa Indonesia yang resmi pun sudah diatur dalam undang-undang. Namun implementasinya pun terabaikan begitu saja. Khususnya di Aceh, pada saat rapat/ forum resmi di legislatif para anggota dewan itu mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/ kota banyak sekali yang memakai bahasa Aceh ketika rapat itu berlangsung tentunya ini melanggar undang-undang.
Lalu mengapa ini terjadi? Kurangnya pengetahuan tentang pemakaian bahasa Indonesia dan latar belakang pendidikan yang terbilang rendah menjadikannya muara sebab-musabab ini terjadi. Tanpa ada maksud mendiskreditkan kalangan tertentu, maaf cakap para politisi yang menduduki kursi parlemen di Aceh saat ini kebanyakan hanya bermodalkan ijazah SMA. Dan dampaknya, kesadaran mereka untuk menempatkan pemakaian bahasa Indonesia pun terabaikan.
Selain itu, kemahiran berbahasa Indonesia ini sendiri dianggap tidak begitu urgen, akibatnya kesadaran berbahasa Indonesia secara baik dan jarang sekali diterapkan bahkan di dalam forum resmi sekalipun. Di dunia pendidikan sendiri, pada tahun 2012 Aceh merupakan provinsi terendah kelulusan Ujian Nasional (UN) mata pelajaran bahasa Indonesia. Di dunia kepegawaian, syarat untuk penerimaan kenaikan golongan PNS hanya sekadar proformal. Ada banyak pertimbangan lainnya yang membuat pribadi tersebut lulus walaupun nilai bahasa Indonesia terbilang rendah.
Ke depan kita mengharapkan Uji Kemampuan Berbahasa Indonesia (UKBI) tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia sebagai prasyarat untuk menyandang gelar sarjana pendidikan, melainkan UKBI ini juga diperuntukkan sebagai syarat penyeleksian anggota dewan maupun profesi lainnya yang berhubungan dengan publik. Karena profesi tersebut cenderung berhubungan dengan orang banyak dan menjadi contoh bagi masyarakat lainnya.
Di samping itu, Pemerintah Aceh juga diharapkan mengeluarkan rumusan berupa peraturan baik itu qanum mengenai pentingnya pemakaian bahasa Indonesia di dalam kegiatan formal, agar sejalan dengan Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Semoga! (Serambi Indonesia)
Posting Komentar