Home » »

Written By Unknown on Minggu, 14 September 2014 | 07.42

Pelaut Senja

Karya: Syah

 


Senja, apa kau pernah mendengar rintihan hati seseorang yang sedang terluka? Apa kau pernah merasakannya jua? Kurasa tidak. Kau hanya bisa tersenyum. Sebab setiap petang burung-burung itu berformasi indah di depanmu, setiap petang laut itu menyambut indah dirimu, dan juga setiap petang anak-anak itu berlarian girang kala siluet merah datang. Dan kau tiba membungkusnya. Semua diam tanpa bahasa.

Apa kau tahu arti kehilangan? Tidak. Kau tak tahu sama sekali. Apa kau pernah merasa dicintai? Ah, kalau itu. Kuyakin saat pertama kau dicipta pasti ada. Tapi, apa kau pernah tahu betapa padihnya hati manusia ini yang setiap petang kala kau datang menatap sayu lautan biru yang mulai kemerahan? Tidak juga. Kau tak akan pernah merasakan itu. Sebab hidupmu sempurna, tak cacat secuil pun.

Sekarang akan masuk bulan keberkahan yang ke lima. Dan aku masih belum bisa menepis sedih ini. mereka tetap saja menghinaku, mengolokku, dan juga mengataiku. Tiga tahun yang lalu aku dikatai lagi. Aku ini anak yang ditinggal Ayah. Tapi aku diam. Namun hatiku menangis. Bukan sebab perkataan itu, tapi benar Ayahku hingga saat ini belum juga kembali.
“Ayahmu tak akan pulang lagi.” Ucap si Uja, anaknya Bang Udi. Aku hanya diam saja.
“Kau tak akan pernah disayangi seorang Ayah.” Ujarnya lagi sambil ketawa dan pergi. Dan aku masih tak bersuara. Hanya menatap anak itu tajam.

Senja, bicaralah satu patah kata. Aku ingin mendengar suaranmu yang kata mereka kau indah bak merak. Cobalah kau beri aku saran terbaik dari masalah ini. Ah, apa kau sama seperti si Uja? Yang bisa tertawa kala orang menderita? Kalau begitu, aku percuma terus berkeluh di sini, menunggumu bicara. Kau sama saja. Atau jangan-jangan kau juga pasti menyangka aku betul Anak yang ditinggal pergi Ayah. Sebab kau tak pernah melihat Aku ke sini bersama Ayahku.

***
“Apakah Ibu mencintai Ayah?”
Ibu menoleh, saat aku bertanya itu. Dan Ia mengangguk sambil tersenyum hingga terlihat jelas lesung pipitnya.
“Lantas kenapa Ibu melepaskan Ayah pergi?”
Senyumnya terkatup.

“Ayahmu pergi berkerja.” Ucapnya lirih.

“Kerja di mana? Kenapa gak pulang-pulang? Apa Ibu bertengkar dengan Ayah? Atau Ibu mengusir Ayah? Jangan-jangan Ayah sudah meni_”
“Cukup...!”

Kalimatku dipotong Ibu. Raut wajahnya kusut dan keruh. Ia sepertinya tersinggung oleh ucapku yang  bertubi-tubi. Lalu Ibu masuk ke dalam kamar tanpa menolehku lagi. Apa Ibu marah padaku? Aku tak tahu.

Kala pagi yang cerah tiba, aku meminta maaf pada Ibu. Aku tak sepatutnya buat Ia tersinggung. Bagaimana jika Ia nanti pergi? Aku akan tinggal sendiri, dan si Uja akan bilang aku apa lagi. Mungkin Ia akan gelariku dengan Anak malang yang ditinggal pergi Ibu dan Ayah. Sebab, kedua orangtuaku meninggalkanku.

“Bu, aku minta maaf atas ulahku semalam.”

Ibu tersenyum manis. Dan memaafkanku. Mungkin itulah yang membuat Ayah jatuh cinta padanya. Gadis lembut, manis, dan penyayang. Tapi, kenapa Ayah bisa pergi?  Pertanyaan itu hadir lagi. Aku cepat-cepat mebuangnya jauh-jauh. Aku tak ingin di pagi yang cerah ini mendung oleh pertanyaanku yang membuat ibu tersinggung.

Ibu memasak makanan istimewa pagi ini. Dengan gorengan ikan tangkapanku subuh tadi. Kami makan hanya dengan ikan dan nasi. Sebelumnya hanya nasi dan garam. Meski hidup kami sederhana dan tak sekaya si Uja, setidaknya kami bisa bahagia, walau pertanyaan tentang Ayah kerap tiba dan tak juga bisa luput dari memori otakku. Setelah makan aku pergi mencari kayu bakar, setelah itu aku melaut hingga senja tiba. Aku baru pulang. Namun, setiap kali senja datang, aku selalu saja ingin bertanya padanya perihal Ayahku yang pergi beberapa tahun silam lewat laut ini.

Waktu itu, aku masih  duduk di bangku sekolah. Karna Ayah masih ada, jadi ada yang membiayaiku hingga selesai. Namun kini, Ia tak ada, dan aku harus mengubur dalam-dalam mimpiku untuk kuliah ke kota. Dan aku jadi seorang pelaut senja, sebab aku pulang hingga senja. Beda dengan pelaut lain, yang pulang saat matahari masih tinggi.  

Tepat di ujung tumpukan bebatuan itu, aku dan Ibu mengantar Ayah pergi bersama pelaut lain entah ke mana. Aku tak bisa bertanya kepada Ibu ke mana Ayah pergi. Sebab kala itu, air wajah Ibu tak pernah cerah. Sedih tak bertuan. Namun keesokkan harinya Aku beranikan diri bertanya. Namun Ibu tak menjawab. Ia hanya diam dan mengusap lembut rambutku sembari berbisik ke telingaku, “Anak yang baik itu, tak akan pernah bertanya perihal yang membuat Ibunya  sedih.” Dengan lirih aku mendegar kalimat Ibu.

Sejak saat itu, aku bungkam tentang kepergian Ayah. Aku tak ingin bertanya lagi. Karna Aku tak ingin Ibu sedih, apalagi pergi. Aku hanya punya satu Ibu di dunia ini. Dan Apalah arti hidup tanpa Ibu, ibarat biduk tanpa dayung. Tak ada guna. Dan tak akan bisa mengarahkan jalan. Dibawa arus entah ke mana.

***
Senja, kau tahu. Sepulang ku melaut. Aku entah kemasukan setan apa. Tiba-tba hatiku resah hendak pulang cepat dan bertanya pada Ibu perihal Ayah. Kala itu, kampung ini mendung dan sesaat kemudian dibungkus hujan. Dengan derasnya hujan yang menghujam atap rumah tuaku. Aku bertanya pada Ibu yang sedang merajut. Ia tersenyum padaku, aku tak membalas, lantasku lepas pertanyaan pedas dengan nada sedikit keras.

“Ibu. Kenapa Ayah pergi?” Senyumnya terkatup.

“Aku tak ingin dikatai lagi Anak ditinggal Ayah. Kenapa waktu itu Ibu biar Ayah pergi? Apa Ibu yang menyuruhnya pergi? Kenapa Ibu? Jawab ...Bu!!!”  Ibu memandangku tajam. Sepertinya Ia benar-benar marah.

“Ayah kau pergi demi Ibumu yang lain.”

Itu jawaban Ibu. Yang begitu tajam hingga ke hulu hatiku.

“Apa? Ayah pergi karna...??”

“Iya... Ayahmu pergi karna wanita lain. Sekarang terserah kau. Kau hendak susul dia, silahkan. Atau kau hendak Ibu yang pergi? Hah...???” 

Senyap sesaat, lalu Ibu pergi dalam hujan itu. Ia buang rajutannya.  Ia belah hujan. Dan aku sangat ketakutan. Aku tak ingin ibu pun pergi. Aku kejar Ibu dalam hujan malam itu. Aku kehilangan ia sesaat, namun aku terus mencari dan kutemui Ia sedang berdiri di atas bebatuan menatap gelap lautan malam. Tepat di tempat kami melepas kepergian Ayah.

    “Ibu. Aku minta maaf. Ibu jangan pergi dariku. Aku tak ingin Ibu pergi.” Aku memeluk erat Ibuku yang basah oleh hujan dan air mata. Dan seperti biasa, ia tersenyum dengan lesung pipinya yang manis itu. Lalu berbisik ke telingaku.

“Ibu sayang kamu!”
Banda Aceh, 7 Juni 2013.


Syah; Mahasiswa PBSI

Share this article :

Posting Komentar

Universitas Syiah Kuala

Unsyiah

Gemasastrin

Image and video hosting by TinyPic

Balai Bahasa Banda Aceh

Balai Bahasa Banda Aceh
 

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Alamat: jalan Tgk. Hasan Krueng Kale, No. 5, Darussalam, Banda Aceh.