PENGGOLONG BOH DALAM BAHASA ACEH
(Sisi Keunikan Bahasa Aceh sebagai Salah Satu Bahasa Austronesia Barat)
oleh
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
ABSTRAK
Artikel ini mendeskripsikan sejumlah fakta dan data awal yang berhubungan dengan penggolong boh dalam bahasa Aceh (BA). Sumber datanya adalah masyarakat penutur asli BA yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten/kota di Aceh. Berdasarkan beberapa data yang teramati dalam konteks pemakaian penggolong boh, terlihat bahwa ada kecenderungan orang Aceh menggunakan penggolong boh untuk memarkahi suatu benda. Sebagian besar penggolong yang dugunakan adalah boh, padahal banyak penggolong lain yang tersedia. Deskripsi ini sangat penting bagi ketersediaan data awal bagi sebuah penelitian yang komprehensif berkaitan dengan penggolong dalam BA karena inventarisasi secara spesifik tentang penggolong dalam BA secara menyeluruh belum pernah dilakukan, padahal fenomena tersebut merupakan salah satu kajian linguistik, khususnya morfologi yang perlu ditelaah lebih lanjut.
Kata kunci: penggolong, boh, bahasa Aceh
Pendahuluan
Bahasa-Bahasa Daerah di Aceh
Aceh merupakan salah satu provinsi yang ada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Provinsi ini terletak di ujung utara Pulau Sumatera, yaitu tepatnya pada 2-6˚C Lintang Utara dan 95-98˚C Bujur Timur, dengan luas 55.390 km². Di sebelah utara dan timur, provinsi ini berbatasan dengan Selat Malaka, di sebelah barat dengan Samudra Hindia, dan di sebelah selatan dengan Provinsi Sumatra Utara.
Provinsi Aceh, dengan ibu kota Banda Aceh, sejak berlakunya otonomi daerah tahun 2000, secara administratif terdiri atas sembilan belas kabupaten, yaitu Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Barat, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Simeulue, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subulussalam, dan Aceh Tenggara, dan empat pemerintahan kota, yakni Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Langsa.
Selain kekayaan alam yang melimpah, Aceh juga memiliki kekayaan bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tersebut berbeda satu sama lain, khususnya kosakata, sehingga masyarakat pemakainya tidak saling memahami. Sulaiman (1979:15-16) mengatakan bahwa tidak kurang dari sembilan bahasa daerah terdapat di Aceh. Bahasa-bahasa tersebut adalah
(1) bahasa Gayo;
(2) bahasa Tamiang;
(3) bahasa Alas;
(4) bahasa Jamèe;
(5) bahasa Kluet;
(6) bahasa Singkil;
(7) bahasa Defayan;
(8) bahasa Singulai;
(9) bahasa Aceh.
Bahasa Gayo dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Gayo Lues, sebagian Aceh Tenggara, dan Kecamatan Lokop (Kabupaten Aceh Timur). Bahasa Tamiang dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, yang meliputi Kecamatan Bendahara, Kejuruan Muda, Karang Baru, Seruway, dan Tamiang Hulu. Bahasa Alas dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Aceh Tenggara dan di hulu sungai Singkil (Kabupaten Aceh Singkil). Bahasa Jamèe dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kabupaten Aceh Selatan, yang meliputi Kecamatan Labuhan Haji, Samadua, dan Tapak Tuan. Selain itu, bahasa Jamèe juga dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kabupaten Aceh Barat, yakni dalam wilayah Kecamatan Kaway XVI, yang meliputi Peunaga Rayeuk, Rantau Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, Gunong Kléng, dan Padang Seurahét (wilayah Kecamatan Johan Pahlawan), dan Susôh (wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya). Bahasa Kluet dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kabupaten Aceh Selatan, yang meliputi Kluet Utara dan Kluet Selatan. Bahasa Singkil dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kabupaten Aceh Singkil, yang meliputi Kecamatan Simpang Kiri dan Simpang Kanan. Bahasa Defayan dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kabupaten Simeulue, yang meliputi Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah, dan Teupah Selatan. Bahasa Singulai dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Simeulue, yang meliputi Kecamatan Simeulue Barat dan Kecamatan Salang. BA dipakai oleh penduduk yang berdomisili di wilayah Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh, Kabupaten Pidie, Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Kabupaten Aceh Selatan.
Dapat ditambahkan bahwa bahasa Alas sangat mirip dengan bahasa Karo di Provinsi Sumatera Utara; bahasa Tamiang boleh dikatakan merupakan salah satu ragam dari bahasa Melayu (Malaysia); dan bahasa Jamèe merupakan suatu dialek dari bahasa Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat (Djunaidi 1996:17).
BA merupakan suatu bahasa daerah yang aktif digunakan oleh suku-suku yang berbeda yang berdomisili di wilayah Provinsi Aceh. Penutur bahasa ini diperkirakan berjumlah 4 juta orang dari jumlah penduduk kurang lebih lima juta jiwa. Penelaahan tentang bahasa ini perlu terus dilakukan karena dengan tersedianya deskripsi konkret tentang BA, pengenalan dan pemahaman tehadap bahasa ini semakin baik sehingga pertumbuhan dan perkembangannya akan lebih mudah diikuti. Kecuali itu, ketersediaan deskripsi keilmuan BA secara teoretis juga mempunyai relevansinya dengan pengembangan teori linguistik Indonesia, sebab BA merupakan suatu bahasa daerah yang berada dalam wilayah bahasa Nusantara. Jadi, akan terlihat seberapa jauh bahasa ini berperan sebagai objek penerapan dan penunjang pengembangan teori linguistik Indonesia (Nusantara).
Dialek Bahasa Aceh
Secara teoretis setiap bahasa mempunyai dialek dan subdialek tersendiri serta wilayah pemakaiannya (peta bahasa). BA, misalnya, memiliki empat dialek geografis, yakni dialek Aceh Besar, dialek Pidie, dialek Aceh Utara, dan dialek Aceh Barat (Asyik, 1978:1). Dalam pada itu, hasil-hasil penelitian mutakhir telah merekomendasikan bahwa dialek bahasa Aceh, selain empat dialek yang tersebut di atas, juga terdapat dialek Daya (di Kabupaten Aceh Jaya) dan dialek Selatan (di Kabupaten Aceh Selatan). Jadi, ragam bahasa dapat dibincangkan berdasarkan fungsinya dalam masyarakat yang multibahasa (seperti Aceh).
Sesuai dengan teori kesemestaan bahasa, bahasa-bahasa daerah, misalnya bahasa Aceh, memiliki dialek dan subdialek tersendiri yang antara dialek dan atau subdialek yang lain memiliki ciri pemerlaian (ciri pembeda). Selain itu, setiap bahasa tersebut juga mengalami perkembangan, baik menyangkut dengan sistem bahasanya maupun sebaran wilayah dan jumlah penuturnya. Perkembangan tersebut terjadi secara pesat dalam kurun waktu tertentu sehingga kemungkinan besar telah melampaui batas-batas yang ditetapkan terdahulu.
Sumarsono dan Paina Partana (2002:9-10) mengemukakan bahwa dalam dialektologi (kajian tentang variasi bahasa) dipelajari berbagai dialek dan subdialek dari suatu bahasa yang tersebar di berbagai wilayah. Tujuannya adalah untuk mencari hubungan kekeluargaan di antara dialek-dialek itu. Selain itu, untuk menentukan sejarah perubahan bunyi atau bentuk kata serta maknanya, dari masa ke masa dan dari satu tempat ke tempat lain. Titik berat kajian terletak pada kata. Setelah ditemukan sejumlah kata yang mempunyai berbagai lafal bunyi dan bentuk pada sejumlah dialek di berbagai tempat, baru dibuat semacam peta, yakni peta dialek. Di dalam peta itu tertera garis-garis yang menghubungkan tempat satu ke tempat lain. Garis itu, yang disebut isoglos, menandakan di tempat-tempat yang dihubungkan oleh garis-garis itu ada persamaan bentuk (lafal) bagi sebuah kata tertentu. Misalnya,untuk kata “apa” ada tiga jenis lafal, yakni “[apa], [apo], dan [ape]”. Dapat dikatakanbahwa dialek suatu bahasa adalah salah satu sistem bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain.
Kedudukan Bahasa Aceh
BA adalah salah satu bahasa daerah di Provinsi Aceh, yang dahulu disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Provinsi ini terletak di ujung utara Pulau Sumatera, Indonesia. BA termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia Barat dan memiliki hubungan kekerabatan dengan kelompok bahasa Campa di Vietnam Selatan dan Kamboja (Azwardi, 2003).
Di Provinsi Aceh BA memiliki kedudukan terpenting dan terhormat karena, terutama menjadi lambang identitas daerah. Setiap kali orang bercerita tentang bahasa daerah di Aceh, pikiran orang secara otomatis akan tertuju kepada nama BA. Demikian pula, setiap kali orang mendengar ada orang dari Aceh yang sedang berbicara dalam bahasa daerah, secara serta-merta orang itu akan mengatakan bahwa mereka sedang bercakap-cakap dalam BA. Padahal, cerita tentang bahasa daerah di Aceh atau cerita tentang orang yang sedang bercakap-cakap dalam bahasa daerah Aceh belum tentu bahwa yang dimaksudkan itu adalah BA karena di Aceh bahasa daerah tidak hanya merupakan BA. Akan tetapi, karena telah menjadi lambang identitas daerah, BA menjadi lebih dikenal dan memperoleh perlakuan yang lebih istimewa dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lain yang ada di provinsi itu.
BA adalah bahasa sebagian besar penduduk Aceh. Jumlah penutur bahasa itu mengalahkan jumlah penutur bahasa-bahasa lain di provinsi ini, seperti bahasa Alas, bahasa Gayo, bahasa Tamiang, bahasa Jamèe, bahasa Devayan, bahasa Sigulai, bahasa Kluet, bahasa Singkil, dan bahasa Haloban. Dapat dikatakan bahwa di semua wilayah di Aceh ada orang-orang yang memakai BA. Bahkan, di beberapa kabupaten dengan jumlah penduduk yang relatif cukup banyak, seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, dan Aceh Besar, BA menjadi bahasa utama penduduk.
Kedudukan BA dikatakan pula istimewa disebabkan oleh upaya pembinaan bahasa tersebut melalui jalur pengajaran dan pemasyarakatan. Dari segi pengajaran, BA telah ditetapkan oleh pemerintah daerah menjadi sebuah mata ajaran muatan lokal yang harus diberikan di seluruh provinsi mulai dari kelas III sekolah dasar sampai dengan siswa menamatkan sekolah lanjutan tingkat pertama. Dari segi pemasyarakatan, sikap positif masyarakat terhadap BA cukup tinggi dengan cara mewujudkan suatu situasi yang kondusif bagi pemakaian bahasa tersebut. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan BA di media massa dan media elektronik, lagu-lagu, spanduk, stiker, nama toko, dan tempat-tempat umum lainnya.
Upaya pengembangan BA melalui penelitian, pembakuan, dan pemeliharaan, yang secara umum melebihi bahasa-bahasa lain di Aceh, semakin memperkokoh kedudukan bahasa tersebut. Penelitian berbagai aspek BA dilakukan tidak semata-mata untuk kepentingan perekaman bahasa, tetapi juga untuk keperluan peningkatan mutu pemakaian bahasa itu. Beberapa pembakuan, seperti membuat pedoman ejaan dan kamus, dilakukan untuk menciptakan komunikasi yang luas dan efektif di kalangan masyarakat pengguna bahasa tersebut. Akhirnya, pemeliharaan BA dilaksanakan pula untuk meningkatkan kemampuan bahasa itu sebagai alat komunikasi etnik dengan mempertimbangkan perkembangan sosiokultural dan konteks sosial, ekonomi, budaya, serta kebijakan politik daerah.
Keunikan-Keunikan Bahasa Aceh
Dalam teori linguistik umum, antara lain, dinyatakan bahwa setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain. Apa yang ada dalam suatu bahasa mungkin ada dalam bahasa lain, namum adanya berbeda-beda. Misalnya, setiap bahasa memiliki pronomina persona (kata ganti orang), termasuk BA (BA). Pronomina BA, secara khusus, misalnya, berbeda dengan pronomina bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, pronomina persona tidak memiliki persesuaian (agreement) seperti yang terdapat dalam BA. Demikian juga dalam bahasa Inggris. Meskipun dikenal adanya agreement, namun agreement tersebut berbeda dengan BA. Kemudian, setiap bahasa memiliki konsep gradasi adjektiva, termasuk BA. Gradasi adjektiva BA, secara khusus, misalnya, berbeda dengan gradasi adjektiva bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Indonesia, deret morfologis gradasi adjektiva kata BA lebih panjang daripada bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Uniknya, pada deret terakhir gradasi adjektiva BA didampingi oleh atau dengan sebuah kata (majemuk) yang berupa idiom (ungkapan) atau kata yang secara leksikal tidak ada hubungannya dengan dengan bentuk dasarnya (meuliplip untuk gradasi final manyang, ‘alaihesalam untuk gradasi final bangai, dan tuloe asee untuk gradasi final kh’ieng). Selain itu, pemakaian kosakata tiruan bunyi (onomatopoeia) dan penggolong boh juga menjadi kekhasan tersendiri dalam BA.
Secara teoretis, BA, misalnya, pada tataran fonologi terdapat perbedaan yang mencolok jumlah fonem vokal dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa daerah lainnya di Nusantara; pada tataran morfologi, antara lain, terdapat perbedaan yang mencolok tentang gradasi atau tingkatan atau nuansa kualitas makna sebuah kata; pada tataran sintaksis terdapat perbedaan yang mencolok tentang ciri predikat verba (yang selalu dilekatkan persesuaian) atau strukturnya yang cederung inversi; Predikat-Subjek (P-S).
Pada kesempatan ini saya bermaksud mengetengahkan keunikan teori BA pada tataran morfologi yang berkaitan dengan penggolong boh. Adapun fokus kajiannya adalah BA dialek Peusangan (BADP). Manfaat deskripsi awal berkaiatan dengan penggolong BA ini adalah (1) memperkaya khazanah tata BA; (2) memberikan sumbangan bagi pengembangan teori linguistik pada umumnya dan tata BA pada khususnya; (3) menjadi rujukan penelitian secara detail dan penulisan referensi tentang tata BA.
Pemakaian Penggolong Boh dalam Bahasa Aceh
Apakah bahasa dibentuk oleh pengalaman atau bahasa membentuk pengalaman? Pertanyaan tersebut terkait dengan teori pemerolehan bahasa Sapir-Wolf, bahwa kebiasaan berbahasa, dalam tataran tertentu, menentukan cara kita dalam memandang dunia. Berkaiatan dengan ini, dapat ditambahkan bahwa berdasarkan pandangan logika alamiah; mengenai bahasa dan pikiran penutur; pemakaian bahasa hanya dipandang sebagai penyampai apa yang sudah dirumuskan secara nonkebahasaan dalam pikiran. Timbul pertanyaan baru, apakah penutur bahasa berbahasa seperti yang dipikirkan, atau berpikir seperti mereka berbahasa (Cahyono, 2005).
Penggolong benda merupakan pemarkah nomina yang terdapat dalam semua bahasa di dunia. Dalam bahasa Indonesia misalnya, yang termasuk ke dalam tipe penggolong ini, antara lain, butir, batang, helai, carik, dan buah (sebutir telur, sebatang rokok, sehelai kain, secarik kertas, dan sebuah rumah). Demikian juga dalam BA, terdapat tipe penggolong ini, seperti bak, on, droe, krek, neuk, dan boh (sibak rukok, sidroe ureueng, sikrek kuweh, sineuk pade, dan saboh leumo).
Dari beberapa bentuk penggolong yang terdapat dalam BA, tampaknya boh mendominasi pemakaiannya. Berdasarkan teori linguistik (ilmu bahasa) umum tersebut, “iseng-iseng” mari kita tilik gejala pemakaian kata boh ‘buah’ dalam BA (BA). Secara leksikal, apa arti kata boh. Secara gramatikal dan semantis, masuk ke kelas kata apa boh itu, apa fungsi dan maknanya. Secara sosiolinguistik apa implikasi gejala pemakaian tersebut bagai masyarakat penutur. Akhirnya, secara psikolinguistik, apakah dapat disimpulkan bahwa penggunaan bentuk-bentuk tertentu dalam bahasa mencerminkan karakter masyarakatnya.
Dalam BA, umumnya boh cenderung digunakan sebagai penggolong dan pembilang benda, nama-nama bagian organ tubuh manusia, dan nama buah-buahan. Berikut disajikan beberapa data dan konteks pemakaian boh dalam BA.
Posting Komentar