Kurikulum 2013 Sumbat Kreativitas Guru
![]() |
Drs. Denni Iskandar, M.Pd |
DALAM sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia, telah diberlakukan sejumlah kurikulum. Mulai dari Kurikulum 1947, 1952, 1968, 1975. 1984. 1994, 2006 (KTSP) hingga kini telah diberlakukan secara bertahap Kurikulum 2013. Uniknya, setiap kurikulum baru muncul, pemerintah cendrung mendiskreditkan kurikulum sebelumnya. Misalnya, alasan pemberlakuan kurikulum 1984 karena kurikulum 1975 masih berpusat pada guru, siswa cendrung pasif, hanya menilai kognitif, dan berorientasi pada buku paket. Kurikulum 1984 hadir dengan mengusung konsep cara belajar siswa aktif (CBSA) yang kemudian sering dipelesetkan “catat buku sampai abis”.
Sepuluh tahun kemudian, lahirlah Kurikulum 1994, dengan argumentasi Kurikulum 1984 masih memiliki kelemahan seperti bersifat parsial atau tidak terpadu, tidak berpusat pada siswa, dan terlalu padat. Kurikulum 1994 hadir dengan mengusung konsep pembelajaran terpadu (integrated learning) yang menyederhanakan pokok bahasan.
Tahun 2004 diluncurkanlah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian sempat terkatung-katung selama dua tahun karena tidak kunjung disahkan. Malik Fajar, Mendikbud waktu itu beralasan “Kalau saya tandatangani KBK, sama artinya kurikulum sebelumnya tidak berbasis kompetensi.”
Ketidakpastian nasib KBK terjawab pada 2006 dengan disahkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kehadiran KTSP juga mendiskreditkan Kurikulum 1994 yang katanya bersifat sentralistik, berpusat pada guru, tidak kontekstual, menekankan pada aspek kognitif, dan sebagainya. KTSP mengusung konsep desentralisasi kurikulum dan pendekatan contextual teaching and learning (CTL).
Polanya tetap sama
Kini munculah Kurikulum 2013. Polanya tetap sama, menyebutkan keburukan kurikulum sebelumnya. KTSP dikatakan belum menggambarkan secara holistik domain (kognitif, afektif, psikomotorik), berorientasi pada buku teks, berpusat pada guru (teacher centered learning), belum relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan, beban belajar terlalu berat, dan sebagainya.
Sikap pemerintah yang mendiskreditkan kurikulum sebelumnya setiap pemberlakuan kurikulum baru, bukanlah sifat yang bijaksana. Apalagi alasan yang dikemukakan relatif sama dengan kemasan bahasa yang berbeda. Kita sepakat bahwa kurikulum perlu diganti demi mengikuti perkembangan zaman. Namun, hendaknya alasan pergantian kurikulum haruslah logis dan proporsional, bukan dengan menjelek-jelekkan kurikulum terdahulu. Kita bisa prediksi, ketika Kurikulum 2023 nanti lahir (siklus 10 tahunan kurikulum diganti), maka Kurikulum 2013 akan juga didiskreditkan.
Saya sepakat dengan editorial harian ini (Serambi Indonesia, 25 Juli 2013) yang menyatakan bahwa permasalahan pendidikan kita bukanlah semata pada kurikulum, tetapi pada perubahan perilaku guru dan budaya belajar. Artinya, perberlakuan kurikulum baru bukanlah karena kurikulum sebelumnya buruk, tetapi lebih banyak disebabkan kompetensi guru kita yang kurang optimal mengimplementasikannya.
Satu keunggulan KTSP yang sangat diagung-agungkan saat kemunculannya adalah bersifat desentralisasi yang mengakomodasi keberagaman daerah guna mendobrak prinsip sesntralisasi Kurikulum 1994. Dalam buku panduan yang dikeluarkan BNSP (2006) disebutkan bahwa KTSP dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender.
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan. Pengembangan KTSP mengacu pada Standar Isi (SI) dan dan Standar Kelulusan (SKL) serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
Dalam KTSP pemerintah pusat hanya menetapkan SI dan SKL, sedangkan pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan sumber belajar diserahkan kepada tingkat satuan pendidikan (sekolah) masing-masing. Jadi tidak aneh bila antarsekolah bisa berbeda kurikulumnya. Keluwesan KTSP membuat guru lebih otonom, kreatif, dan fleksibel dalam menyusun kurikulum karena diberikan kebebasan yang seluas-luasnya sesuai kebutuhan sekolah.
Kehadiran kurikulum 2013 membuat konsep desentralisasi kurikulum yang telah didoktrin dalam KTSP menjadi mentah kembali. Pemerintah terkesan inkonsisten, plin-plan, dan melenyapkan konsep yang selama tujuh tahun terakhir ini diagung-agungkan. Kurikulum 2013 sangat sentralistik dan menggampangkan guru karena semuanya sudah disiapkan oleh pusat, sebagaimana yang dinyatakan Kepala LPMP Aceh, Makmur Ibrahim dalam kolom Droe Keu Droe (Serambi, 26/7/2013) bahwa Kurikulum 2013 memudahkan guru. Begitu mudahnya, guru tinggal terima bersih dan hanya tinggal melaksanakan apa yang sudah dirancang oleh Jakarta.
Setelah saya pelajari secara seksama buku pegangan guru dan buku pegangan siswa kurikulum 2013, tanpa disadari pemerintah telah mempersempit ruang bagi guru untuk berkreasi. Guru sepertinya tidak perlu lagi repot-repot menyusun rencana pembelajaran seperti membuat silabus dan RPP karena semuanya sudah tersaji. Kalaupun harus membuat silabus dan RPP hanya sekadar formalitas.
Dalam buku itu, langkah demi langkah pembelajaran disusun sedemikian rupa sehingga guru tertuntun dan diarahkan dari menit pertama sampai menit akhir pembelajaran. Ibarat makanan, semua sudah dihidangkan, guru tinggal menyantapnya, tanpa perlu mengolah atau memasaknya.
Sifat kurikulum 2013 yang serba sentralistik ini sangat membahayakan daya kreasi dan inovasi guru. Guru menjadi pemalas karena sebagian pekerjaannya, terutama fungsinya sebagai perencana pembelajaran, telah diambil alih oleh negara. Komite sekolah juga tertutup perannya untuk berkontribusi dalam mengisi substansi pembelajaran.
Para pengarang dan penerbit buku pelajaran juga akan semakin sempit ruang geraknya berkarya, karena seluruh guru di Indonesia akan menggunakan buku pelajaran yang sama. Monopoli otoritas pengetahuan seperti ini memang di satu sisi baik untuk menyeragamkan content pembelajaran, tetapi di sisi lain dapat mematikan kreativitas banyak pihak.
Pemerintah lupa
Syukur, jika buku yang dirancang pemerintah dalam perjalanannya nanti dinilai baik. Namun, jika hasil evaluasi di kemudian hari ternyata buku pemerintah ini bermasalah, maka seluruh rakyat Indonesia akan menanggung risikonya. Pemerintah mungkin lupa, melaksanakan pembelajaran yang dirancang sendiri tentu akan lebih baik dibandingkan melaksanakan pembelajaran yang dirancang orang lain.
Sekali lagi, saya sependapat dengan editorial Salam Serambi (Serambi, 25/7/2013) yang mempertanyakan pemaksaan “buru-buru” penerapan Kurikulum 2013. Kurikulum bukanlah kelinci percobaan, ratusan miliar uang rakyat digelontorkan untuk hajat besar ini.
Seharusnya pemerintah menjadikan Kurikulum 2013 sebagai pilot terlebih dulu sebagaimana yang terjadi pada KBK. Setelah mendapat uji publik secara komprehensif, barulah Kurikulum 2013 diberlakukan, sehingga jika terjadi permasalahan di kemudian hari, pemerintah tidak menanggung resikonya sendirian.
* Drs. Denni Iskandar, M.Pd, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: deniiskandar75@yahoo.com
+ komentar + 1 komentar
Saya setuju 100 persen dg anda. k 13 kurang mengutamakan aspek afektif, atau pi engetahuan, semua mapel di campur aduk menjadi satu tema di mana tiap mapel cuman di ambil kulitnya saja. Ingat bahwa di era globalisasi ini siswa di tuntut lebih dalam pengetahuan.
Posting Komentar